Friday, May 9, 2008

Pendidikan Berbasis Realitas

Ilman Soleh, SS

Tulisan Prof. Dr. Musa Asy’arie, Guru Besar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tentang Pendidikan Sekolah Kita Antirealitas, cukup menggelitik kita semua untuk mengkritisi kembali pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Pelaksanaan pendidikan selama ini bak menara gading, jauh dari realitas yang ada di sekitarnya, sehingga tidak bisa mencerap realitas kehidupan secara kreatif dan visioner.
Tidak heran bila bangsa kita yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, tetapi karena kurang tersentuh oleh pendidikan, akibatnya banyak sumber daya alam yang terbengkalai begitu saja, dan kurang dimanfaatkan secara maksimal. Sumber daya alam yang kita miliki itu, pada akhirnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Bangsa kita yang dikenal sebagai negara agraris dengan wilayah yang cukup luas, saat ini hanya menjadi pengimpor beras dan jagung; berton-ton singkong membusuk karena petani tidak mampu mengolahnya; beberapa jenis industri seperti gula atau karung harus gulung tikar karena kekurangan bahan baku yang merupakan hasil pertanian; berbagai jenis buah yang beredar di pasaran mempunyai merk Bangkok, Australia, Amerika dan lain sebagainya.
Realitas ini terjadi, salah satu sebabnya karena pendidikan sekolah kita masih mendewa-dewakan terhadap formalitas ijazah, kecenderungan memandang rendah kerja "kasar" seperti bertani dan bertukang plus masalah sosial lainnya. Dengan kata lain, pendidikan kita kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya sebagai produk, yakni dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan.
Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Pendidikan kita masih menekankan pada penguasaan fakta temuan para pakar terdahulu, bukan pada ketrampilan penemuan fakta baru. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi yang menuntut peserta didik menguasai teori, bukan penerapan untuk pemecahan masalah atau menemukan teori-teori baru. Dalam filsafat kuno, kepada peserta diberikan ikan, bukan kail.
Kegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan, metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik. Hal ini terjadi karena pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul dan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori itu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah berubah. Akibatnya, ketika mereka menyelesaikan pendidikannya, mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di sekitarnya
Oleh sebab itu, paradigma pendidikan sekolah harus diubah. Tetapi seperti dikatakan Asy’arie, untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah harus ada kebijakan pendidikan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental pendidikan, sebagai subyek dinamik realitas kehidupan masyarakat, sehingga anak didik dapat memahami realitas secara utuh, benar, dan tepat. Penguasaan alat untuk memahami realitas menjadi tugas fundamental dunia pendidikan kita, melalui proses pembelajaran yang kreatif dan visioner, untuk memperkaya intelektual dan spiritual anak didiknya.

No comments: